Minggu, 29 Mei 2011

*** —
Ujian Nasional (UN) Tahun 2011 ini berbeda dengan pelaksanaan UN tahun-tahun sebelumnya. Pasalnya sistem penilainnya melibatkan sekolah, yakni memberikan kewenangan empat puluh persen kepada sekolah dan enam puluh persen dari hasil UN. Sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 45 Tahun 2010 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik pada Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah, dan Sekolah Menengah Kejuruan Tahun Pelajaran 2010/2011.

Pada Pasal 6 Ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa “Kelulusan peserta didik dalam UN ditentukan berdasarkan Nilai Akhir (NA). NA sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1 diperoleh dari nilai gabungan antara Nilai Sekolah/Madrasah (NS/M) dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan nilai UN, dengan pembobotan 40% (empat puluh persen) untuk NS/M dari mata pelajaran yang diujinasionalkan dan 60% (enam puluh persen) untuk Nilai UN”.
Melihat Pasal 6 Permendiknas Nomor 45 Tahun 2010 di atas secara sederhana dapat dibaca bahwa pemerintah (dalam hal ini Kementrian Pendidikan Nasional) bertujuan memberikan otoritas atau kewenangan kepada sekolah/madrasah untuk ikut terlibat dalam menentukan nilai kelulusan peserta didik (baca; siswa). Hal ini sesuai dengan paradigma kurikulum yang sedang dikembangkan oleh pemerintah saat ini, yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam KTSP, semangat dan prinsip yang sengaja dikedepankan adalah memberikan otoritas lebih kepada sekolah/madrasah untuk menentukan rumusan outcome lulusan secara mandiri.
Linier dengan Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilain Pendidikan. Bahwa ketentutasan belajar siswa secara sistematik-hirarkhial sesuai dengan kompetensi yang sudah ditetapkan, harus melalui tahapan pengujian, mulai dari Ulangan Harian (UH), Ulangan Tengah Semester (UTS), Ulangan Akhir Semester (UAS), Ujian Sekolah/Madrasah (US/M), dan Ujian Nasional (UN). Maka sangatlah tepat apabila pemerintah tahun 2011 ini untuk menentukan nilai kelulusan siswa melibatkan sekolah/madrasah. Meskipun porsinya tidak mencapai lima puluh persen, tetapi empat puluh persen dirasa lebih baik dari pada tidak sama sekali. Hal demikian oleh beberapa pemerhati pendidikan juga dipertanyakan, mengapa “empat puluh enam puluh”. Padahal sekolah/madrasah, selaras dengan paradigma KTSP, harusnya mendapat porsi lebih, mengingat sekolah/madrasah yang sangat mengetahui kondisi objektif siswa dibandingkan dengan pemerintah.
Terlepas dari porsi yang diberikan kepada sekolah/madrasah hanya empat puluh persen, namun praktis UN 2011 ini relatif minim kritik, apalagi aksi protes untuk menolak dilaksanakannya UN. Tentu ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Biasanya, kebijakan pemerintah terkait dengan pelaksanaan UN dalam setiap tahunnya selalu saja mendapat respon pro dan kontra. Namun respon yang kontra lebih banyak dibandingkan dengan yang pro. Banyak pakar ataupun pemerhati pendidikan yang menolak dilaksanakannya UN, karena kontraproduktif dengan paradigma desentralisasi di bidang pendidikan yang dikembangkan pemerintah sendiri.
Artinya bahwa kebijakan UN 2011 ini dengan penentuan pelulusan siswa yang melibatkan pihak sekolah/madrasah, merupakan sebuah trobosan kebijakan di bidang pendidikan. Buktinya tidak menuai protes dari banyak kalangan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Kalau pun ada, hal itu tidak sampai mengusulkan untuk menolak dilaksanakannya UN. Sebut saja Zainuddin Maliki, dari Dewan Pendidikan Jawa Timur, mengatakan bahwa UN 2011 ini masih saja belum memperhatikan aspek penilain yang utuh, hanya mengukur pada aspek kognitif ansich, tentu ini sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Harapnnya, pengukuran itu berbanding lurus dengan target kompetensi yang diukur, yakni di samping aspek kognitif juga aspek psikomotorik dan afektif. (DUTA Masyarakat, 18 Januari 2011).
Sebanarnya, kalau ditilik lebih jauh, melihat sistem penentuan kelulusan pada Permendiknas Nomor 45 Tahun 2010, terdapat di Pasal 5 dan 6 sudah menjelaskan bahwa empat puluh persen NA yang bersumber dari sekolah/madrasah itu merupakan nilai komulasi antara nilai rata-rata rapor semester 1, 2, 3, 4, dan 5 untuk tingkat/jenjang pendidikan SMP/MTs, semester 3, 4, dan 5 untuk tingkat/jenjang pendidikan SMA/MA, serta enam puluh persennya lagi diambilkan dari nilai US/M. Ini berarti sama halnya dengan secara tidak langsung penentuan kelulusan UN 2011 ini sudah mengakomodasi penilain dari aspek kognitif, psikomotorik maupun afektif. Asumsinya, empat puluh persen nilai yang diambilkan dari rata-rata raport itu sudah merepresentasikan nilai pada aspek psikomotorik dan afektif. Karena rapor yang dibuat sekolah (baca: guru) sudah disesuaikan dengan standar KTSP, yang mensyaratkan dalam penilaian siswa memuat aspek kognitif, aspek psikomotorik, dan aspek afektif secara komprehensif.
Namun di sisi lain, di samping kebijakan UN 2011 ini mendapat aspresiasi positif dari banyak pihak, tapi masih saja menyisahkan masalah-masalah implementatif. Misalnya terakit dengan pamahaman sekolah/madrasah tentang sestem penilaian (kriteria kelulusan) dan paket soal dalam UN. Seperti biasa, produk kebijakan baru selalu disertai dengan adanya sosialisasi dengan tujuan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. Tepatnya, seminggu setelah ditetapkannya Permendiknas Nomor 45 Tahun 2011 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) pusat melakukan sosialisasi kepada masyarakat dengan menggelar konferensi pers kepada media televisi dan koran, kemudian ditindaklanjuti sosialisasi di daerah-dareah yang dilakukan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Tetapi hasilnya, ketika mendengar perbincangan guru-guru yang ikut sosialisasi, masih mengeluhkan kebingungan terutama terkait dengan paket soal UN dan sistem presentasi penentuan kelulusan siswa. Karena anatara narasumber satu dengan lainnya tidak seragam dalam memberikan penjelasan. Alias beragam pemahaman. Ada yang mengatakan, bahwa soal UN 2011 ini terdiri dari dua paket, dan juga ada yang mengatakan soal itu terdiri dari lima peket. Tentu ini sangat membingungkan guru sebagai aksekutor di tingkat sekolah/madrasah. Berbekal kebingungan seperti itu, tidak mungkin akan dapat menjelaskan kepada guru-guru lain di sekolahnya secara lebih detail dan gamblang.
Juga terkait dengan US/M, apakah cukup dengan nilai yang diambilkan dari nilai UH dan lainnya, atau mengharuskan sekolah untuk menggelar US/M itu secara formal. Sebab dari beberapa aturan teknis yang disampaikan narasumber dalam sosialisasi itu juga dapat dibenarkan kalau US/M itu diambilkan dari nilai UH dan lainnya. Sedangkan narasumber lain menjelaskan bahwa yang dimaksud US/M itu pelaksanaan formal ujian yang dilaksanakan sekolah/madrasah. Sebagaimana dimaksudkan Pasal 1 Permendiknas Nomor 45 Tahun 2011 pada Ayat 2 mengenai US/M.
Ini baru tingkat pemahaman mengenai aturannya saja sudah terkesan semerawut, belum lagi nanti pada praktik pelaksanaannya. Berdasar pada masalah awal di atas dapat diasumsikan bahwa pelaksaan UN 2011 akhir April nanti akan banyak masalah-masalah yang muncul. Asumsi ini tentu tidak berlebihan, melihat kelazim yang ada, bahwa setiap kebijakan baru itu sangat rentan dengan tingkat pemahaman yang kurang tepat karena sosialisasi yang dilakukan kurang memadai.
Seharusnya pemerintah sudah mengantisipasi sejak dini terkait dengan kemungkinan masalah-masalah yang muncul menyertai kebijakan baru UN 2011 ini, dengan memberikan bahan sosialisasi yang seragam di setiap kabupaten/kota. Termasuk teknis penghitungan nilai rata-rata rapor, pelaksanaan US/M dan lainnya. Jangan sampai dengan alasan tidak adanya detail aturan teknis, membuka ruang bagi sekolah/madrasah kemudian menggunakan sebagai dalih untuk melakukan kecurangan dengan “manipulasi” nilai rapor dan nilai US/M supaya siswanya lulus UN. Tidak menutup kemungkinan hal itu dapat terjadi, sebab tidak mungkin ada sekolah/madrasah yang menginginkan siswanya tidak lulus UN, sehingga dengan berbagai cara ditempuh untuk meluluskan siswanya, walaupun dengan “merekayasa” nilai, baik yang sumbernya dari rapor ataupun dari US/M.
Kalau hal itu tidak benar-benar diperhatikan oleh pemerintah, dan diidentifikasi masalah-masalah yang bakal muncul sejak dini, maka juga dapat diprediksikan bahwa otoritas penentuan kelulusan yang diberikan kepada sekolah/madrasah itu hanyalah semu. Sebab pada endingnya, adanya sama dengan tiadanya.
Oleh; M. Amin Adalah Dosen Universitas Sunan Giri (UNSURI) Surabaya, dan Pengurus Wilayah Lembaga Pendidikan Maarif NU Jawa Timur.


Read more: http://kafeilmu.com/2011/02/un-2011-dan-otorisasi-semu-sekolah.html#ixzz1Nmdp87uh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar